Minggu, 07 Oktober 2012

Pertemuan Singkat Dengan Soga Masaru: It's About Feeling



Minggu lalu aku bekerja dalam sebuah Festival bertajuk Jogja International Performing Art (JIPA) dan Asia Tri Jogja (ATJ). JIPA & ATJ adalah sebuah festival yang menampilkan pertunjukan tari, teater dan musik kontemporer maupun tradisional dari seniman-seniman yang berasal dari berbagai penjuru dunia. JIPA dan ATJ khususnya diinisiasi oleh tiga negara, yaitu Indonesia, Jepang dan Korea. Oleh karena itu selain di Indonesia setiap tahunnya festival ini juga diadakan di Jepang dan Korea. Di Indonesia sendiri tahun ini sudah masuk tahun ketujuh pelaksanaan festival, padahal menurut Pak Bambang Paningron selaku Direktur Festival,  setiap tahunnya beliau selalu dipusingkan oleh masalah (klasik) dana yang tersendat setiap tahunnya. Akan tetapi dengan berpegang teguh pada prinsip “hidup untuk seni, bukan seni untuk hidup” beliau berhasil konsisten mengadakan festival ini setiap tahunnya tanpa putus.
Tahun ini adalah tahun ketigaku bergabung di festival ini. Pertama aku bergabung di festival ini pada tahun 2010 sebagai seorang kru panggung dibawah manajer panggung Iqbal Tuwasikal, seorang seniorku di Teater Gadjah Mada. Tahun 2011 aku bergabung sebagai co-stage manager dibawah stage manager Vindra Kirana dan pada tahun ini aku diposisikan secara aklamasi sebagai stage manager JIPA, sedangkan untuk ATJ aku bekerja sebagai kru panggung dibawah stage manager Theodorus Christanto, seorang seniorku di Teater Garasi. Tahun ini aku bekerja dengan seorang  desainer tata cahaya senior dari Jepang bernama Soga Masaru. Secara fisik, beliau adalah seorang pria tua berambut putih yang kira-kira usianya sudah melewati 60 tahun dengan gigi depan yang sudah rontok 7 buah. Bersama Pak Paningron, Soga adalah salah satu pendiri dari festival ini, jadi jika tidak ada halangan setiap tahunnya dia akan datang ke Indonesia untuk festival ini.
Sebelumnya aku sudah banyak mendengar cerita tentang Soga Masaru. Kebetulan Iqbal Tuwasikal seorang seniorku di Teater Gadjah Mada adalah salah seorang muridnya, dan kemudian aku juga tahu bahwa Ignatius Sugiarto, yang juga merupakan seniorku di Teater Garasi juga merupakan salah satu muridnya. Lha berarti otomatis sekarang ini aku berkesempatan untuk banyak belajar dari gurunya guruku…
Setiap orang yang kutemui dan pernah berproses bersama Soga Masaru selalu bercerita tentang sesosok pria tua dengan karya tata cahaya yang luar biasa. Temanku seorang fotografer bilang kepadaku kalau semua fotografer tak peduli seberapa jauh kemampuannya akan mendapat hasil foto panggung yang bagus kalau memotret panggung yang tata cahayanya digarap Soga Masaru, beliau juga seorang multitasking yang mampu mengoperasikan mixer control audio dan lighting secara bersamaan. Beliau juga dikenal sebagai seorang desainer yang nrimo, apapun spesifikasi lampu yang ada dia tidak akan banyak permintaan, karena beliau tidak perlu banyak lampu untuk menghasilkan tata cahaya yang spektakuler.
Pada hari kedua pelaksanaan JIPA di Taman Budaya Yogyakarta (TBY) aku berkesempatan ngobrol sebentar berdua dengannya. Saat itu kami sedang menunggu kedatangan Danang Pamungkas, seorang penari dari Solo yang tampil di acara ini untuk rehearsal. Soga sangat suka kopi hitam panas tanpa gula, jadi sembari menunggu jadwal rehearsal kami berdua menuju kantin TBY untuk minum kopi sebentar. Di kantin TBY aku meminta maaf kepadanya soal berbagai macam kesalahan teknis yang terjadi di gedung pertunjukan. Ya, Gedung Societet tempat pertunjukan ini memang sungguh parah kondisinya, sangat sulit untuk menemukan lampu dengan kondisi yang betul-betul baik (Bayangkan saja, dari 10 lampu jenis Fresnel hanya 4 yang kondisinya benar-benar bagus, lainnya hidup segan mati tak mau). Beliau menanggapinya dengan bercerita sambil meminum kopi hitamnya. Beliau bercerita bahwa dirinya telah bekerja di berbagai belahan dunia seperti di Amerika, Eropa dan berbagai negara di Asia dan beliau memuji infrastruktur yang tersedia di negara-negara maju tersebut. Contoh paling mudahnya, bagaimana di negara-negara maju tersebut kita hanya perlu menekan tombol untuk menurunkan rig penggantung lampu sementara di TBY kita harus naik keatas (catwalk) untuk mengutak-atik lampu. Akan tetapi beliau berpendapat bahwa teknologi-teknologi semacam itu kadang menghilangkan sebuah elemen psikologis antara auidens dan penampilnya. Saat ini karena kemajuan teknologi yang sangat pesat hampir semua alat pengontrol tata lampu memiliki fitur perekam yang memungkinkan kita untuk merekam desain lampu yang ingin digunakan saat latihan dan tinggal memutar rekaman tersebut ketika pertunjukan berjalan. Soga adalah salah satu pembenci fitur tersebut. Menurutnya kasus seni pertunjukan berebda dengan show di televisi. Antara penonton dan penampil bisa saling melihat tanpa harus dibatasi dengan layar kaca. Dan tentunya para penonton datang ke sebuah gedung seni pertunjukan adalah untuk menonton secara langsung pertunjukan tersebut. Maka kita sebagai pihak-pihak yang merancang pertunjukan tersebut harus menghormati para penonton tersebut dengan menyajikan sebuah pertunjukan “langsung” tanpa menggunakan rekaman.  “Tidak perlulah itu menggunakan recording, lihat pertunjukannya baik-baik, pahami maknanya, rasakan suasana gedung pertunjukannya dan tangkaplah aura yang muncul dari penontonnya. It’s about feeling”, ujarnya panjang lebar. “Ya, aku berkata begitu sebenarnya karena aku sudah tua sih, tidak paham soal teknologi”, ujarnya sambil tertawa.
Malam harinya ketika pertunjukan  aku paham apa yang dikatakannya. Pada saat pertunjukan aku berada di FOH (Front Of House) tempat operator audio dan lighting berada. Jadi disana aku bisa dengan jelas mengamati cara kerja pria tua ini. Yang paling membuatku takjub dan menahan nafas sepanjang adalah ketika beliau menangani pertunjukan dari Takateru Kudo. Kudo adalah seorang penari butoh papan atas dari Jepang. Tariannya sangat atraktif, bahkan sampai naik ke kursi penonton dan memutar-mutar footlight segala (padahal bayangkan sendiri kalau lampu sebesar 500 watt dinyalakan itu pasti panas kan? Kudo memegangya dengan tangan telanjang). Saat Soga menangani departemen sound dan lighting untuk Kudo aku paham apa yang dimaksud dengan “It’s about feeling”. Jari-jari Soga menari diatas console lighting menciptakan suasana mencekam. Kadang-kadang beliau menaikkan volume pada mixer audio mencapai batas maksimal hingga membuat seluruh kaca gedung bergetar dan disaat yang tepat dia mematikan audio secara tiba-tiba yang membuat sisi gedung seperti terhempas ke sandaran kursi mereka masing-masing. Dahsyat! Aku sampai secara tidak sadar menonton pertunjukan tersebut, padahal harusnya sebagai seorang stage manager aku tidak boleh sekadar menonton, tapi memperhatikan setiap detail pertunjukan kalau-kalau ada hal yang sifatnya emergency, tapi sungguh baru kali ini aku benar-benar terpesona pada permainan seorang yang berada dibalik layar. Ini baru yang namanya Master!

ASIA TRI JOGJA
Pekerjaan kami berlanjut ketika pelaksanaan ATJ di Museum Ullen Sentalu Kalirang. Tempatnya indah sekali, ditengah hutan dan bebatuan dibangun sebuah panggung 2 level yang menjadi tempat pertunjukan. Sayangnya pada hari pertama pertunjukan lagi-lagi terjadi kesalahan teknis. Power pack yang menjadi sumber tenaga lampu tiba-tiba mati. Alhasil dari 24 buah lampu yang dipasang dan didesain oleh Soga hampir separuhnya mati, jadilah pertunjukan hari pertama berlangsung dengan kondisi lampu seadanya. Pada hari kedua beliau datang cukup awal, kurang lebih pada pukul 12 siang. Karena venue pertunjukan bersifat outdoor maka tidak memungkinkan baginya untuk melakukan pengecekan lampu. Aku menemuinya dan berbasa-basi  aku sekali lagi meminta maaf karena kesalahan teknis malam sebelumnya yang mengakibatkan hampir 12 dari total 24 buah lampu tidak bisa digunakan. Dia menjawab, “It’s okay, I;m still alive and everybody is okay” ujarnya sambil tertawa. Obrolan kami pun mengalir ngalor-ngidul, aku bsempat apakah dia tidak merasa kerepotan mengontrol mixer lampu dan audio secara bersamaan. Dia menjawab, “Aku ini seorang pemain piano, Kamu tahu, didalam piano ada kurang lebih sebanyak 88 kunci, sekarang coba kamu jumlahkan channel dikedua mixer tersebut, tidak sebanyak kunci pada piano kan?”. Betul juga sih, Kebetulan untuk ATJ kali ini kami menggunakan mixer audio dengan fasilitas 48 channel dan mixer lampu dengan fasilitas 24 channel. “Semakin banyak channel yang bisa kugunakan, itu berarti kebebasanku semakin lebar”, ujarnya sambil tersenyum. “Makanya waktu tadi malam hampir separuh channel mati aku merasa kebebasanku direnggut, hahahaha”, tambahnya sambil tertawa. Dia kemudian bercerita lagi tentang pandangannya soal digitalisasi dunia pertunjukan. Soga berkata kalau pada pertunjukan tadi malam beliau menggunakan teknologi recording, sudah pasti remuklah pertunjukan itu. Beruntung yang diandalkannya bukanlah tenologi  canggih itu, tapi sekali lagi, yang dipakai adalah feeling. Aku jadi ingat sempat bertanya kepada Yudi Ahmad Tajudin, sutradara internasional dari Teater Garasi, bagaimana perbandingan kondisi seni pertunjukan di Indonesia dengan di luar negeri. Yudi menjawab, “Kita kalah jauh soal infrastruktur, tapi kalau soal ide sih kita nggak kalah”. Fariz RM pernah berkata bahwa teknologi boleh saja maju, tetapi pada hakekatnya tetap saja teknologi adalah “budak” manusia, jangan sampai kemudian yang terjadi justru sebaliknya, manusia diperbudak oleh teknologi. Pernah nonton film kartun berjudul Wall E kan? Itu mungkin contoh ekstrim bagaimana teknologi akhirnya justru memperbudak manusia.
“Kamu masih muda, hidupmu dikelilingi alat-alat canggih berteknologi tinggi, silakan gunakan semaksimal mungkin, tapi jangan lupa: feeling. Itulah yang terpenting”. Begitu nasihatnya kepadaku.
Pertemuanku dengan Soga Masaru memang sangat singkat, akan tetapi dari waktu sesingkat itu aku belajar tentang arti penting sebuah proses, konsistensi, dan juga anugerah terbesar yang membedakan homo sapiens dari spesies lain di muka bumi ini : feeling. Aku terlahir pada sebuah zaman dimana dunia sudah berada didalam genggaman tangan, yang kadang membuatku malas menggerakkan otakku karena semuanya dapat kuraih dengan sekali klik. Aku berkali-kali membaca tentang puluhan jurnal media dan komunikasi yang membahas tentang hal ini, tetapi pertemuan singkatku kemarin dengan seorang lighting designer tua membuatku berpikir ulang tentang banyak hal.
Setelah pelaksanaan ATJ, Soga berangkat ke Jakarta untuk menangani pertunjukan disana yang diharapkan bisa menjadi embrio Asia Tri di Jakarta, dan setelah itu beliau akan pulang ke Jepang. Aku berharap tahun depan bisa bertemu dengannya lagi, bisa berposes bersamanya sebagai seorang pekerja seni pertunjukan yang bekerja dengan feeling…  



2 komentar:

  1. Feeling;rasa; itu roh seni. bukan?

    BalasHapus
  2. wah cerita yang menarik bro.., aku juga sempat berkenalan dengan sang maestro lighting disign, soga masaru saat masih di jogja yg kebetulan saat itu aku ikut workshop lighting pada saat acara Indonesian Dance Festifal thn 2000 di gedung PPPG jl. kaliurang. Beliau sangat luar biasa, semoga thn depan aku bisa ke jogja dan bertemu beliau

    salam kenal

    Adink



    BalasHapus