Minggu, 05 Agustus 2012

Lokakarya Stage Management oleh Yayasan Kelola dan Japan Foundation


Siang hari (2/08) pukul 11.30 saya tiba di Gedung Summitmas I di Jalan jenderal Sudirman Jakarta Selatan. Ketika saya melangkah masuk tampak sekelompok orang beratribut hitam-hitam sedang berdemonstrasi didepan gerbang. Ketika saya tanyakan kepada petugas keamanan mereka adalah sekelompok aktivis anti-invasi Jepang. Pemilihan lokasi para demonstran itu cukup tepat karena di Gedung Summitmas-lah kantor Japan Foundation bernaung. Saat sedang menjalani security check saya sempat dengar salah satu pernyataan mereka, bahwasanya mereka siap bersatu tanpa memandang suku, agama dan ras untuk bertempur hingga titik darah penghabisan untuk melawan invasi Jepang. Semoga beruntung teman-teman…
Sesuai dengan instruksi dari resepsionis saya naik ke lantai 2 menuju hall Japan Foundation tempat pelaksanaan  Lokakarya Stage Management yang diselenggarakan oleh Yayasan Kelola bersama dengan Japan Foundation. Sebelumnya pada tahun 2009 saya juga pernah mengikuti workshop dengan tema yang sama ditempat yang sama juga. Pada waktu itu yang menjadi pembicara adalah Sari Madjid, seorang manajer produksi kondang dari Teater Koma dan Johan Didik, seorang manajer panggung ternama di senatero Indonesia. Untuk lokakarya kali ini yang menjadi pembicaranya adalah Toto Arto, beliau adalah seorang senior dalam hal seni pertunjukan, produk terakhirnya yang sangat kondang adalah Musikal Laskar Pelangi yang menuai pujian dari banyak pihak, menurut Ignatius Sugiarto a.k.a Pak Clink, anak-anak pelaku Event Organizer wajib mengenal beliau karena beliau adalah cah lawas dalam bidang tersebut. Pembicara satu lagi adalah Inet Leimena, saya tahu namanya ketika beliau menjadi Show Director konser 11 Januari-nya GIGI di Stadion Mandala Krida Yogyakarta beberapa tahun lalu, dan setelah saya googling ternyata beliau juga sempat menangani produksi dari Guruh Soekarno Putra, pertunjukan tari Matah Ati, dan banyak pertunjukan keren lainnya.
Setelah melakukan registrasi ulang saya menerima hand out lokakarya tersebut dan duduk di ruang tunggu bersama peserta lainnya. Tampak seorang wanita berpakaian hitam-hitam berambut pendek tersenyum kepada saya saat kami bertemu muka. Saya duduk disebelah seorang pria berpakaian rapi dengan kemeja dan sepatu pantofel cokelat yang sibuk mengetik sesuatu dengan macbook pro-nya tanpa menghiraukan kehadiran saya. Sepertinya hidupnya serius sekali…
Pukul 12.30 acara dimulai. Saya duduk di baris depan bersama dengan Linda Mayasari dan Firdaus Tegar, teman-teman saya dari Jogja yang juga sama-sama selo mengikuti lokakrya ini. Toto Arto mengambil alih mic dan menjadi pembicara pertama. Beliau menyampaikan materi “formal” tentang stage management. Apa definisi dari Stage Management, bagaimana posisinya di sebuah struktur produksi pertunjukan, dan contoh-contoh kertas kerja seorang stage manager. Toto Arto sempat memberikan contoh bagaimana dia membedah naskah Musikal Laskar Pelangi kedalam Equipment List yang dibutuhkan untuk produksi pertunjukan tersebut. Salah satu poin terpenting dari yang disampaikan oleh Toto Arto adalah perlunya pemahaman yang sama tentang bahasa “panggung” yang digunakan sebuah pertunjukan, dia memberikan contoh : Saat tahun 1993 Toto Arto berkesempatan terlibat dalam sebuah event bergengsi di Jakarta yaitu Pagelaran Abang-None Jakarta. Saat pertunjukan berlangsung tiba-tiba seluruh crew (termasuk Toto Arto) menerima instruksi stage manager dari HT (Handy Talkie), “Itu tolong penarinya disuruh keluar!”. Mendengar instruksi tersebut dia melihat kedalam rundown, dan menurut rundown yang dilihatnya saat itu belum waktunya bagi penari untuk keluar. Karena kepatuhannya kepada sang Stage Manager akhirnya penari segera dikondisikan dan muncul kedalam panggung. Ketika penari muncul kedalam panggung audiens pun bingung karena saat itu ternyata sesi yang sedang berlangsung adalah sesi pembacaan doa, dan tiba-tiba dibelakang ustadz muncul sekelompok penari yang berlenggak-lenggok. Kemudian muncul kembali suara dari HT, “Itu ngapain penari ada diatas panggung?!! Tarik lagi penarinya!!”. Crew yang kebingungan akhirnya menarik kembali para penari untuk masuk ke backstage. Rupanya yang dimaksud oleh stage manager adalah saat itu ada seorang penari yang iseng mengintip ke area panggung dan terlihat “bocor” dari arah penonton, maksud stage manager adalah meminta agar penari yang mengintip tersebut “keluar” dari sana agar tidak terlihat oleh penonton. Karena insiden tersebut menurut Toto Arto event organizer tersebut tidak lagi diberi kepercayaan untuk menangani event Abang-None Jakarta lagi sampai saat ini. Karena itulah eliau menyampaikan perlunya pemahaman yang sama tentang bahasa “panggung”. Kata “keluar” yang dimaksud apakah keluar dari backstage menuju panggung, ataukah keluar dari posisi onstage menuju offstage??
Toto Arto berbicara kurang lebih selama 1,5 jam dan kemudian dilanjutkan oleh Inet Leimena. Kali ini Inet tidak banyak berbicara tentang “teknis”, ia lebih banyak bicara soal “bagaimana seharusnya stage manager bersikap”. Ada beberapa poin yang saya tangkap dari apa yang Inet sampaikan siang hari itu :
 Pertama adalah menjadi seorang stage manager haruslah fleksibel. Dalam artian, seorang stage manager harus bisa beradaptasi dengan cepat terhadap pola yang digunakan oleh sebuah kelompok pertunjukan. Inet mengambil contoh dalam menangani kelompok teater seperti Teater Gandrik misalnya, tidak mungkin kita membuat sebuah Breakdown Notes yang “kaku” dalam prosesnya karena Teater Gandrik dikenal sangat kaya improvisasi dalam setiap pertunjukannya.
Kedua ketika menjadi seorang stage manager perlu adanya meeting dengan pihak sutradara dan produser untuk memperjelas job description. Sejauh mana peran stage manager yang diharapkan oleh sutradara dan produser dalam sebuah proses produksi pertunjukan. Hal ini diperlukan untuk menghindari overlapping ketika proses sudah berjalan, juga menghindari load kerja yang berlebihan atau bahkan kurang, karena prinsip kerja setiap kelompok pertunjukan yang berbeda-beda.
Ketiga adalah mengenai pentingnya membuat segala macam catatan tentang sebuah proses pertunjukan. Dalam 10 Golden Rules of Stage Management yang ditulis oleh Carissa Dollar dalam “Stage Manager Do Make Coffee” mengatakan : Put Everything In Writing. Tidak dibenarkan seorang stage manager hanya mengandalkan ingatannya saja. Inet mengatakan ketika sedang proses running pertunjukan Musikal Laskar Pelangi, dia sebenarnya yakin bahwa dia telah hafal seluruh cue list pergerakan aktor, set & property. Dia juga yakin bahkan seluruh stage crew-nya juga telah hafal seluruh cue tersebut. Akan tetapi Inet tetap saja menginstruksikan kepada dirinya sendiri dan juga seluruh crew-nya untuk tetap menghadap lembaran-lembaran cue list. Inet juga mengingatkan jangan “sok pintar” dengan membuat catatan-catatan yang “rumit”. Segala macam catatan yang dibuat oleh stage manager haruslah bisa dipahami oleh semua orang yang terlibat dalam pertunjukan tersebut.
Keempat adalah pentingnya mengikuti proses. Baik itu proses latuhan (rehearsal) ataupun meeting dengan klien. Hal ini disampaikan oleh Inet karena saat ini beliau banyak mendapati stage manager yang hanya datang pada hari H pukul 9 pagi dan langsung melakukan running show pada malam harinya. Inet menyampaikan bahwa salah satu kenyataan yang harus diterima oleh seorang stage manager adalah bahwa stage manager adalah sosok yang “kurang diperhatikan” dalam sebuah pertunjukan. Ketika curtain call sangat jarang stage manager ikut disebut dan dipanggil keatas panggung. Sudah beruntung kalau nama stage manager dicantumkan didalam credit title sebuah booklet pertunjukan. Oleh karena itu stage manager sendirilah yang harus menumbuhkan rasa kepemilikan (sense of belonging) terhadap pertunjukan tersebut, dan salah satu caranya adalah dengan mengikutri proses pertunjukan tersebut mulai dari latihan (rehearsal) atau juga meeting dengan klien. Satu hal  yang selalu diyakini oleh Inet dan juga disampaikannya kepada semua stage crew-nya adalah tanpa stage manager sebuah pertunjukan tidak akan berjalan dengan baik. Tanpa stage manager sebuah pertunjukan masih bisa berjalan akan tetapi masih jauh dari kata “baik”.
            Saat kedua pembicara menyampaikan materinya saya hanya mendengarkan dan tidak menyampaikan pertanyaan apapun. Karena sesungguhnya materi yang disampaikan oleh kedua pembicara ini sudah pernah saya terima ketika workshop stage management yang lalu, dan juga dari materi-materi yang banyak saya unduh dari internet. Hal yang paling menarik bagi saya dalam lokakarya ini adalah poin yang sebagian besar disampaikan oleh Inet, “Bagaimana Stage Manager Bersikap”. Seperti yang pernah disampaikan oleh Yudi Ahmad Tajudin dan Ignatius Sugiarto kepada saya bahwa stage management adalah sebuah ilmu praktikal dan pemilihan seorang stage manager biasanya akan dilihat berdasarkan track record. Berdasarkan studi kasus pengalaman kedua pembicara yang disampaikan membuat saya mendapat sedikit gambaran dan bisa berpikir apa yang besok akan saya lakukan ketika terlibat dalam sebuah proses pertunjukan.
                Seluruh rangkaian acara Lokakarya berakhir kurang lebih pada pukul 18.45 dan diakhiri dengan makan malam bersama seluruh peserta, pembicara dan juga penyelenggara acara. Sebenarnya acara akan lebih menarik jika durasi diperpanjang sampai pada pukul 9 misalnya, sehingga kedua pembicara bisa lebih banyak sharing kepada para peserta. Semoga saja setelah ini pihak penyelanggra berbaik hati untuk berinisiatif melakukuan follow up untuk workshop ini kedalam bentuk yang lebih konkret semacam simulasi lapangan misalnya.
                Pukul 19.30 saya bersama teman-teman dari Jogja meninggalkan Gedung Summitmas I, kami menuju ke Salihara untuk bertemu dengan teman-teman lama yang sekarang mencari nafkah di Jakarta, tidak lupa sebelumnya bertukar nomor ponsel dengan teman-teman peserta lain agar bisa terus menjalin hubungan…