Siang hari (2/08) pukul 11.30 saya
tiba di Gedung Summitmas I di Jalan jenderal Sudirman Jakarta Selatan. Ketika
saya melangkah masuk tampak sekelompok orang beratribut hitam-hitam sedang
berdemonstrasi didepan gerbang. Ketika saya tanyakan kepada petugas keamanan
mereka adalah sekelompok aktivis anti-invasi Jepang. Pemilihan lokasi para
demonstran itu cukup tepat karena di Gedung Summitmas-lah kantor Japan
Foundation bernaung. Saat sedang menjalani security
check saya sempat dengar salah satu pernyataan mereka, bahwasanya mereka
siap bersatu tanpa memandang suku, agama dan ras untuk bertempur hingga titik
darah penghabisan untuk melawan invasi Jepang. Semoga beruntung teman-teman…
Sesuai dengan instruksi dari
resepsionis saya naik ke lantai 2 menuju hall Japan Foundation tempat
pelaksanaan Lokakarya Stage Management
yang diselenggarakan oleh Yayasan Kelola bersama dengan Japan Foundation.
Sebelumnya pada tahun 2009 saya juga pernah mengikuti workshop dengan tema yang
sama ditempat yang sama juga. Pada waktu itu yang menjadi pembicara adalah Sari
Madjid, seorang manajer produksi kondang dari Teater Koma dan Johan Didik,
seorang manajer panggung ternama di senatero Indonesia. Untuk lokakarya kali
ini yang menjadi pembicaranya adalah Toto Arto, beliau adalah seorang senior
dalam hal seni pertunjukan, produk terakhirnya yang sangat kondang adalah
Musikal Laskar Pelangi yang menuai pujian dari banyak pihak, menurut Ignatius
Sugiarto a.k.a Pak Clink, anak-anak pelaku Event
Organizer wajib mengenal beliau karena beliau adalah cah lawas dalam bidang tersebut. Pembicara satu lagi adalah Inet
Leimena, saya tahu namanya ketika beliau menjadi Show Director konser 11 Januari-nya GIGI di Stadion Mandala Krida
Yogyakarta beberapa tahun lalu, dan setelah saya googling ternyata beliau juga sempat menangani produksi dari Guruh
Soekarno Putra, pertunjukan tari Matah Ati, dan banyak pertunjukan keren
lainnya.
Setelah melakukan registrasi ulang
saya menerima hand out lokakarya
tersebut dan duduk di ruang tunggu bersama peserta lainnya. Tampak seorang
wanita berpakaian hitam-hitam berambut pendek tersenyum kepada saya saat kami
bertemu muka. Saya duduk disebelah seorang pria berpakaian rapi dengan kemeja
dan sepatu pantofel cokelat yang sibuk mengetik sesuatu dengan macbook pro-nya
tanpa menghiraukan kehadiran saya. Sepertinya hidupnya serius sekali…
Pukul 12.30 acara dimulai. Saya
duduk di baris depan bersama dengan Linda Mayasari dan Firdaus Tegar,
teman-teman saya dari Jogja yang juga sama-sama selo mengikuti lokakrya ini. Toto Arto mengambil alih mic dan
menjadi pembicara pertama. Beliau menyampaikan materi “formal” tentang stage
management. Apa definisi dari Stage Management, bagaimana posisinya di sebuah
struktur produksi pertunjukan, dan contoh-contoh kertas kerja seorang stage
manager. Toto Arto sempat memberikan contoh bagaimana dia membedah naskah
Musikal Laskar Pelangi kedalam Equipment
List yang dibutuhkan untuk produksi pertunjukan tersebut. Salah satu poin
terpenting dari yang disampaikan oleh Toto Arto adalah perlunya pemahaman yang
sama tentang bahasa “panggung” yang digunakan sebuah pertunjukan, dia
memberikan contoh : Saat tahun 1993 Toto Arto berkesempatan terlibat dalam
sebuah event bergengsi di Jakarta
yaitu Pagelaran Abang-None Jakarta. Saat pertunjukan berlangsung tiba-tiba
seluruh crew (termasuk Toto Arto)
menerima instruksi stage manager dari HT (Handy
Talkie), “Itu tolong penarinya disuruh keluar!”. Mendengar instruksi
tersebut dia melihat kedalam rundown, dan
menurut rundown yang dilihatnya saat
itu belum waktunya bagi penari untuk keluar. Karena kepatuhannya kepada sang
Stage Manager akhirnya penari segera dikondisikan dan muncul kedalam panggung.
Ketika penari muncul kedalam panggung audiens pun bingung karena saat itu
ternyata sesi yang sedang berlangsung adalah sesi pembacaan doa, dan tiba-tiba
dibelakang ustadz muncul sekelompok penari yang berlenggak-lenggok. Kemudian
muncul kembali suara dari HT, “Itu ngapain
penari ada diatas panggung?!! Tarik lagi penarinya!!”. Crew yang kebingungan akhirnya menarik kembali para penari untuk
masuk ke backstage. Rupanya yang
dimaksud oleh stage manager adalah saat itu ada seorang penari yang iseng
mengintip ke area panggung dan terlihat “bocor” dari arah penonton, maksud
stage manager adalah meminta agar penari yang mengintip tersebut “keluar” dari
sana agar tidak terlihat oleh penonton. Karena insiden tersebut menurut Toto
Arto event organizer tersebut tidak
lagi diberi kepercayaan untuk menangani event
Abang-None Jakarta lagi sampai saat ini. Karena itulah eliau menyampaikan
perlunya pemahaman yang sama tentang bahasa “panggung”. Kata “keluar” yang
dimaksud apakah keluar dari backstage menuju
panggung, ataukah keluar dari posisi onstage
menuju offstage??
Toto Arto berbicara kurang lebih selama
1,5 jam dan kemudian dilanjutkan oleh Inet Leimena. Kali ini Inet tidak banyak
berbicara tentang “teknis”, ia lebih banyak bicara soal “bagaimana seharusnya
stage manager bersikap”. Ada beberapa poin yang saya tangkap dari apa yang Inet
sampaikan siang hari itu :
Pertama adalah menjadi seorang stage
manager haruslah fleksibel. Dalam artian, seorang stage manager harus bisa
beradaptasi dengan cepat terhadap pola yang digunakan oleh sebuah kelompok
pertunjukan. Inet mengambil contoh dalam menangani kelompok teater seperti
Teater Gandrik misalnya, tidak mungkin kita membuat sebuah Breakdown Notes yang “kaku” dalam prosesnya karena Teater Gandrik
dikenal sangat kaya improvisasi dalam setiap pertunjukannya.
Kedua ketika
menjadi seorang stage manager perlu adanya meeting
dengan pihak sutradara dan produser untuk memperjelas job description. Sejauh mana peran stage manager yang diharapkan
oleh sutradara dan produser dalam sebuah proses produksi pertunjukan. Hal ini
diperlukan untuk menghindari overlapping ketika
proses sudah berjalan, juga menghindari load
kerja yang berlebihan atau bahkan kurang, karena prinsip kerja setiap
kelompok pertunjukan yang berbeda-beda.
Ketiga adalah
mengenai pentingnya membuat segala macam catatan tentang sebuah proses
pertunjukan. Dalam 10 Golden Rules of
Stage Management yang ditulis oleh Carissa Dollar dalam “Stage Manager Do Make Coffee” mengatakan
: Put Everything In Writing. Tidak
dibenarkan seorang stage manager hanya mengandalkan ingatannya saja. Inet
mengatakan ketika sedang proses running pertunjukan
Musikal Laskar Pelangi, dia sebenarnya yakin bahwa dia telah hafal seluruh cue list pergerakan aktor, set & property. Dia juga yakin bahkan seluruh stage crew-nya juga telah hafal seluruh cue tersebut. Akan tetapi Inet tetap
saja menginstruksikan kepada dirinya sendiri dan juga seluruh crew-nya untuk tetap menghadap
lembaran-lembaran cue list. Inet juga
mengingatkan jangan “sok pintar” dengan membuat catatan-catatan yang “rumit”.
Segala macam catatan yang dibuat oleh stage manager haruslah bisa dipahami oleh
semua orang yang terlibat dalam pertunjukan tersebut.
Keempat adalah
pentingnya mengikuti proses. Baik itu proses latuhan (rehearsal) ataupun meeting dengan
klien. Hal ini disampaikan oleh Inet karena saat ini beliau banyak mendapati
stage manager yang hanya datang pada hari H pukul 9 pagi dan langsung melakukan
running show pada malam harinya. Inet
menyampaikan bahwa salah satu kenyataan yang harus diterima oleh seorang stage
manager adalah bahwa stage manager adalah sosok yang “kurang diperhatikan”
dalam sebuah pertunjukan. Ketika curtain
call sangat jarang stage manager ikut disebut dan dipanggil keatas
panggung. Sudah beruntung kalau nama stage manager dicantumkan didalam credit title sebuah booklet pertunjukan. Oleh karena itu stage manager sendirilah yang
harus menumbuhkan rasa kepemilikan (sense
of belonging) terhadap pertunjukan tersebut, dan salah satu caranya adalah
dengan mengikutri proses pertunjukan tersebut mulai dari latihan (rehearsal) atau juga meeting dengan klien. Satu hal yang selalu diyakini oleh Inet dan juga
disampaikannya kepada semua stage crew-nya
adalah tanpa stage manager sebuah pertunjukan tidak akan berjalan dengan baik.
Tanpa stage manager sebuah pertunjukan masih bisa berjalan akan tetapi masih
jauh dari kata “baik”.
Saat
kedua pembicara menyampaikan materinya saya hanya mendengarkan dan tidak
menyampaikan pertanyaan apapun. Karena sesungguhnya materi yang disampaikan
oleh kedua pembicara ini sudah pernah saya terima ketika workshop stage
management yang lalu, dan juga dari materi-materi yang banyak saya unduh dari
internet. Hal yang paling menarik bagi saya dalam lokakarya ini adalah poin
yang sebagian besar disampaikan oleh Inet, “Bagaimana Stage Manager Bersikap”. Seperti
yang pernah disampaikan oleh Yudi Ahmad Tajudin dan Ignatius Sugiarto kepada saya
bahwa stage management adalah sebuah ilmu praktikal dan pemilihan seorang stage
manager biasanya akan dilihat berdasarkan track
record. Berdasarkan studi kasus pengalaman kedua pembicara yang disampaikan
membuat saya mendapat sedikit gambaran dan bisa berpikir apa yang besok akan
saya lakukan ketika terlibat dalam sebuah proses pertunjukan.
Seluruh
rangkaian acara Lokakarya berakhir kurang lebih pada pukul 18.45 dan diakhiri
dengan makan malam bersama seluruh peserta, pembicara dan juga penyelenggara
acara. Sebenarnya acara akan lebih menarik jika durasi diperpanjang sampai pada
pukul 9 misalnya, sehingga kedua pembicara bisa lebih banyak sharing kepada
para peserta. Semoga saja setelah ini pihak penyelanggra berbaik hati untuk
berinisiatif melakukuan follow up untuk
workshop ini kedalam bentuk yang lebih konkret semacam simulasi lapangan
misalnya.
Pukul
19.30 saya bersama teman-teman dari Jogja meninggalkan Gedung Summitmas I, kami
menuju ke Salihara untuk bertemu dengan teman-teman lama yang sekarang mencari
nafkah di Jakarta, tidak lupa sebelumnya bertukar nomor ponsel dengan
teman-teman peserta lain agar bisa terus menjalin hubungan…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar