Minggu, 07 Oktober 2012

Pertemuan Singkat Dengan Soga Masaru: It's About Feeling



Minggu lalu aku bekerja dalam sebuah Festival bertajuk Jogja International Performing Art (JIPA) dan Asia Tri Jogja (ATJ). JIPA & ATJ adalah sebuah festival yang menampilkan pertunjukan tari, teater dan musik kontemporer maupun tradisional dari seniman-seniman yang berasal dari berbagai penjuru dunia. JIPA dan ATJ khususnya diinisiasi oleh tiga negara, yaitu Indonesia, Jepang dan Korea. Oleh karena itu selain di Indonesia setiap tahunnya festival ini juga diadakan di Jepang dan Korea. Di Indonesia sendiri tahun ini sudah masuk tahun ketujuh pelaksanaan festival, padahal menurut Pak Bambang Paningron selaku Direktur Festival,  setiap tahunnya beliau selalu dipusingkan oleh masalah (klasik) dana yang tersendat setiap tahunnya. Akan tetapi dengan berpegang teguh pada prinsip “hidup untuk seni, bukan seni untuk hidup” beliau berhasil konsisten mengadakan festival ini setiap tahunnya tanpa putus.
Tahun ini adalah tahun ketigaku bergabung di festival ini. Pertama aku bergabung di festival ini pada tahun 2010 sebagai seorang kru panggung dibawah manajer panggung Iqbal Tuwasikal, seorang seniorku di Teater Gadjah Mada. Tahun 2011 aku bergabung sebagai co-stage manager dibawah stage manager Vindra Kirana dan pada tahun ini aku diposisikan secara aklamasi sebagai stage manager JIPA, sedangkan untuk ATJ aku bekerja sebagai kru panggung dibawah stage manager Theodorus Christanto, seorang seniorku di Teater Garasi. Tahun ini aku bekerja dengan seorang  desainer tata cahaya senior dari Jepang bernama Soga Masaru. Secara fisik, beliau adalah seorang pria tua berambut putih yang kira-kira usianya sudah melewati 60 tahun dengan gigi depan yang sudah rontok 7 buah. Bersama Pak Paningron, Soga adalah salah satu pendiri dari festival ini, jadi jika tidak ada halangan setiap tahunnya dia akan datang ke Indonesia untuk festival ini.
Sebelumnya aku sudah banyak mendengar cerita tentang Soga Masaru. Kebetulan Iqbal Tuwasikal seorang seniorku di Teater Gadjah Mada adalah salah seorang muridnya, dan kemudian aku juga tahu bahwa Ignatius Sugiarto, yang juga merupakan seniorku di Teater Garasi juga merupakan salah satu muridnya. Lha berarti otomatis sekarang ini aku berkesempatan untuk banyak belajar dari gurunya guruku…
Setiap orang yang kutemui dan pernah berproses bersama Soga Masaru selalu bercerita tentang sesosok pria tua dengan karya tata cahaya yang luar biasa. Temanku seorang fotografer bilang kepadaku kalau semua fotografer tak peduli seberapa jauh kemampuannya akan mendapat hasil foto panggung yang bagus kalau memotret panggung yang tata cahayanya digarap Soga Masaru, beliau juga seorang multitasking yang mampu mengoperasikan mixer control audio dan lighting secara bersamaan. Beliau juga dikenal sebagai seorang desainer yang nrimo, apapun spesifikasi lampu yang ada dia tidak akan banyak permintaan, karena beliau tidak perlu banyak lampu untuk menghasilkan tata cahaya yang spektakuler.
Pada hari kedua pelaksanaan JIPA di Taman Budaya Yogyakarta (TBY) aku berkesempatan ngobrol sebentar berdua dengannya. Saat itu kami sedang menunggu kedatangan Danang Pamungkas, seorang penari dari Solo yang tampil di acara ini untuk rehearsal. Soga sangat suka kopi hitam panas tanpa gula, jadi sembari menunggu jadwal rehearsal kami berdua menuju kantin TBY untuk minum kopi sebentar. Di kantin TBY aku meminta maaf kepadanya soal berbagai macam kesalahan teknis yang terjadi di gedung pertunjukan. Ya, Gedung Societet tempat pertunjukan ini memang sungguh parah kondisinya, sangat sulit untuk menemukan lampu dengan kondisi yang betul-betul baik (Bayangkan saja, dari 10 lampu jenis Fresnel hanya 4 yang kondisinya benar-benar bagus, lainnya hidup segan mati tak mau). Beliau menanggapinya dengan bercerita sambil meminum kopi hitamnya. Beliau bercerita bahwa dirinya telah bekerja di berbagai belahan dunia seperti di Amerika, Eropa dan berbagai negara di Asia dan beliau memuji infrastruktur yang tersedia di negara-negara maju tersebut. Contoh paling mudahnya, bagaimana di negara-negara maju tersebut kita hanya perlu menekan tombol untuk menurunkan rig penggantung lampu sementara di TBY kita harus naik keatas (catwalk) untuk mengutak-atik lampu. Akan tetapi beliau berpendapat bahwa teknologi-teknologi semacam itu kadang menghilangkan sebuah elemen psikologis antara auidens dan penampilnya. Saat ini karena kemajuan teknologi yang sangat pesat hampir semua alat pengontrol tata lampu memiliki fitur perekam yang memungkinkan kita untuk merekam desain lampu yang ingin digunakan saat latihan dan tinggal memutar rekaman tersebut ketika pertunjukan berjalan. Soga adalah salah satu pembenci fitur tersebut. Menurutnya kasus seni pertunjukan berebda dengan show di televisi. Antara penonton dan penampil bisa saling melihat tanpa harus dibatasi dengan layar kaca. Dan tentunya para penonton datang ke sebuah gedung seni pertunjukan adalah untuk menonton secara langsung pertunjukan tersebut. Maka kita sebagai pihak-pihak yang merancang pertunjukan tersebut harus menghormati para penonton tersebut dengan menyajikan sebuah pertunjukan “langsung” tanpa menggunakan rekaman.  “Tidak perlulah itu menggunakan recording, lihat pertunjukannya baik-baik, pahami maknanya, rasakan suasana gedung pertunjukannya dan tangkaplah aura yang muncul dari penontonnya. It’s about feeling”, ujarnya panjang lebar. “Ya, aku berkata begitu sebenarnya karena aku sudah tua sih, tidak paham soal teknologi”, ujarnya sambil tertawa.
Malam harinya ketika pertunjukan  aku paham apa yang dikatakannya. Pada saat pertunjukan aku berada di FOH (Front Of House) tempat operator audio dan lighting berada. Jadi disana aku bisa dengan jelas mengamati cara kerja pria tua ini. Yang paling membuatku takjub dan menahan nafas sepanjang adalah ketika beliau menangani pertunjukan dari Takateru Kudo. Kudo adalah seorang penari butoh papan atas dari Jepang. Tariannya sangat atraktif, bahkan sampai naik ke kursi penonton dan memutar-mutar footlight segala (padahal bayangkan sendiri kalau lampu sebesar 500 watt dinyalakan itu pasti panas kan? Kudo memegangya dengan tangan telanjang). Saat Soga menangani departemen sound dan lighting untuk Kudo aku paham apa yang dimaksud dengan “It’s about feeling”. Jari-jari Soga menari diatas console lighting menciptakan suasana mencekam. Kadang-kadang beliau menaikkan volume pada mixer audio mencapai batas maksimal hingga membuat seluruh kaca gedung bergetar dan disaat yang tepat dia mematikan audio secara tiba-tiba yang membuat sisi gedung seperti terhempas ke sandaran kursi mereka masing-masing. Dahsyat! Aku sampai secara tidak sadar menonton pertunjukan tersebut, padahal harusnya sebagai seorang stage manager aku tidak boleh sekadar menonton, tapi memperhatikan setiap detail pertunjukan kalau-kalau ada hal yang sifatnya emergency, tapi sungguh baru kali ini aku benar-benar terpesona pada permainan seorang yang berada dibalik layar. Ini baru yang namanya Master!

ASIA TRI JOGJA
Pekerjaan kami berlanjut ketika pelaksanaan ATJ di Museum Ullen Sentalu Kalirang. Tempatnya indah sekali, ditengah hutan dan bebatuan dibangun sebuah panggung 2 level yang menjadi tempat pertunjukan. Sayangnya pada hari pertama pertunjukan lagi-lagi terjadi kesalahan teknis. Power pack yang menjadi sumber tenaga lampu tiba-tiba mati. Alhasil dari 24 buah lampu yang dipasang dan didesain oleh Soga hampir separuhnya mati, jadilah pertunjukan hari pertama berlangsung dengan kondisi lampu seadanya. Pada hari kedua beliau datang cukup awal, kurang lebih pada pukul 12 siang. Karena venue pertunjukan bersifat outdoor maka tidak memungkinkan baginya untuk melakukan pengecekan lampu. Aku menemuinya dan berbasa-basi  aku sekali lagi meminta maaf karena kesalahan teknis malam sebelumnya yang mengakibatkan hampir 12 dari total 24 buah lampu tidak bisa digunakan. Dia menjawab, “It’s okay, I;m still alive and everybody is okay” ujarnya sambil tertawa. Obrolan kami pun mengalir ngalor-ngidul, aku bsempat apakah dia tidak merasa kerepotan mengontrol mixer lampu dan audio secara bersamaan. Dia menjawab, “Aku ini seorang pemain piano, Kamu tahu, didalam piano ada kurang lebih sebanyak 88 kunci, sekarang coba kamu jumlahkan channel dikedua mixer tersebut, tidak sebanyak kunci pada piano kan?”. Betul juga sih, Kebetulan untuk ATJ kali ini kami menggunakan mixer audio dengan fasilitas 48 channel dan mixer lampu dengan fasilitas 24 channel. “Semakin banyak channel yang bisa kugunakan, itu berarti kebebasanku semakin lebar”, ujarnya sambil tersenyum. “Makanya waktu tadi malam hampir separuh channel mati aku merasa kebebasanku direnggut, hahahaha”, tambahnya sambil tertawa. Dia kemudian bercerita lagi tentang pandangannya soal digitalisasi dunia pertunjukan. Soga berkata kalau pada pertunjukan tadi malam beliau menggunakan teknologi recording, sudah pasti remuklah pertunjukan itu. Beruntung yang diandalkannya bukanlah tenologi  canggih itu, tapi sekali lagi, yang dipakai adalah feeling. Aku jadi ingat sempat bertanya kepada Yudi Ahmad Tajudin, sutradara internasional dari Teater Garasi, bagaimana perbandingan kondisi seni pertunjukan di Indonesia dengan di luar negeri. Yudi menjawab, “Kita kalah jauh soal infrastruktur, tapi kalau soal ide sih kita nggak kalah”. Fariz RM pernah berkata bahwa teknologi boleh saja maju, tetapi pada hakekatnya tetap saja teknologi adalah “budak” manusia, jangan sampai kemudian yang terjadi justru sebaliknya, manusia diperbudak oleh teknologi. Pernah nonton film kartun berjudul Wall E kan? Itu mungkin contoh ekstrim bagaimana teknologi akhirnya justru memperbudak manusia.
“Kamu masih muda, hidupmu dikelilingi alat-alat canggih berteknologi tinggi, silakan gunakan semaksimal mungkin, tapi jangan lupa: feeling. Itulah yang terpenting”. Begitu nasihatnya kepadaku.
Pertemuanku dengan Soga Masaru memang sangat singkat, akan tetapi dari waktu sesingkat itu aku belajar tentang arti penting sebuah proses, konsistensi, dan juga anugerah terbesar yang membedakan homo sapiens dari spesies lain di muka bumi ini : feeling. Aku terlahir pada sebuah zaman dimana dunia sudah berada didalam genggaman tangan, yang kadang membuatku malas menggerakkan otakku karena semuanya dapat kuraih dengan sekali klik. Aku berkali-kali membaca tentang puluhan jurnal media dan komunikasi yang membahas tentang hal ini, tetapi pertemuan singkatku kemarin dengan seorang lighting designer tua membuatku berpikir ulang tentang banyak hal.
Setelah pelaksanaan ATJ, Soga berangkat ke Jakarta untuk menangani pertunjukan disana yang diharapkan bisa menjadi embrio Asia Tri di Jakarta, dan setelah itu beliau akan pulang ke Jepang. Aku berharap tahun depan bisa bertemu dengannya lagi, bisa berposes bersamanya sebagai seorang pekerja seni pertunjukan yang bekerja dengan feeling…  



Minggu, 05 Agustus 2012

Lokakarya Stage Management oleh Yayasan Kelola dan Japan Foundation


Siang hari (2/08) pukul 11.30 saya tiba di Gedung Summitmas I di Jalan jenderal Sudirman Jakarta Selatan. Ketika saya melangkah masuk tampak sekelompok orang beratribut hitam-hitam sedang berdemonstrasi didepan gerbang. Ketika saya tanyakan kepada petugas keamanan mereka adalah sekelompok aktivis anti-invasi Jepang. Pemilihan lokasi para demonstran itu cukup tepat karena di Gedung Summitmas-lah kantor Japan Foundation bernaung. Saat sedang menjalani security check saya sempat dengar salah satu pernyataan mereka, bahwasanya mereka siap bersatu tanpa memandang suku, agama dan ras untuk bertempur hingga titik darah penghabisan untuk melawan invasi Jepang. Semoga beruntung teman-teman…
Sesuai dengan instruksi dari resepsionis saya naik ke lantai 2 menuju hall Japan Foundation tempat pelaksanaan  Lokakarya Stage Management yang diselenggarakan oleh Yayasan Kelola bersama dengan Japan Foundation. Sebelumnya pada tahun 2009 saya juga pernah mengikuti workshop dengan tema yang sama ditempat yang sama juga. Pada waktu itu yang menjadi pembicara adalah Sari Madjid, seorang manajer produksi kondang dari Teater Koma dan Johan Didik, seorang manajer panggung ternama di senatero Indonesia. Untuk lokakarya kali ini yang menjadi pembicaranya adalah Toto Arto, beliau adalah seorang senior dalam hal seni pertunjukan, produk terakhirnya yang sangat kondang adalah Musikal Laskar Pelangi yang menuai pujian dari banyak pihak, menurut Ignatius Sugiarto a.k.a Pak Clink, anak-anak pelaku Event Organizer wajib mengenal beliau karena beliau adalah cah lawas dalam bidang tersebut. Pembicara satu lagi adalah Inet Leimena, saya tahu namanya ketika beliau menjadi Show Director konser 11 Januari-nya GIGI di Stadion Mandala Krida Yogyakarta beberapa tahun lalu, dan setelah saya googling ternyata beliau juga sempat menangani produksi dari Guruh Soekarno Putra, pertunjukan tari Matah Ati, dan banyak pertunjukan keren lainnya.
Setelah melakukan registrasi ulang saya menerima hand out lokakarya tersebut dan duduk di ruang tunggu bersama peserta lainnya. Tampak seorang wanita berpakaian hitam-hitam berambut pendek tersenyum kepada saya saat kami bertemu muka. Saya duduk disebelah seorang pria berpakaian rapi dengan kemeja dan sepatu pantofel cokelat yang sibuk mengetik sesuatu dengan macbook pro-nya tanpa menghiraukan kehadiran saya. Sepertinya hidupnya serius sekali…
Pukul 12.30 acara dimulai. Saya duduk di baris depan bersama dengan Linda Mayasari dan Firdaus Tegar, teman-teman saya dari Jogja yang juga sama-sama selo mengikuti lokakrya ini. Toto Arto mengambil alih mic dan menjadi pembicara pertama. Beliau menyampaikan materi “formal” tentang stage management. Apa definisi dari Stage Management, bagaimana posisinya di sebuah struktur produksi pertunjukan, dan contoh-contoh kertas kerja seorang stage manager. Toto Arto sempat memberikan contoh bagaimana dia membedah naskah Musikal Laskar Pelangi kedalam Equipment List yang dibutuhkan untuk produksi pertunjukan tersebut. Salah satu poin terpenting dari yang disampaikan oleh Toto Arto adalah perlunya pemahaman yang sama tentang bahasa “panggung” yang digunakan sebuah pertunjukan, dia memberikan contoh : Saat tahun 1993 Toto Arto berkesempatan terlibat dalam sebuah event bergengsi di Jakarta yaitu Pagelaran Abang-None Jakarta. Saat pertunjukan berlangsung tiba-tiba seluruh crew (termasuk Toto Arto) menerima instruksi stage manager dari HT (Handy Talkie), “Itu tolong penarinya disuruh keluar!”. Mendengar instruksi tersebut dia melihat kedalam rundown, dan menurut rundown yang dilihatnya saat itu belum waktunya bagi penari untuk keluar. Karena kepatuhannya kepada sang Stage Manager akhirnya penari segera dikondisikan dan muncul kedalam panggung. Ketika penari muncul kedalam panggung audiens pun bingung karena saat itu ternyata sesi yang sedang berlangsung adalah sesi pembacaan doa, dan tiba-tiba dibelakang ustadz muncul sekelompok penari yang berlenggak-lenggok. Kemudian muncul kembali suara dari HT, “Itu ngapain penari ada diatas panggung?!! Tarik lagi penarinya!!”. Crew yang kebingungan akhirnya menarik kembali para penari untuk masuk ke backstage. Rupanya yang dimaksud oleh stage manager adalah saat itu ada seorang penari yang iseng mengintip ke area panggung dan terlihat “bocor” dari arah penonton, maksud stage manager adalah meminta agar penari yang mengintip tersebut “keluar” dari sana agar tidak terlihat oleh penonton. Karena insiden tersebut menurut Toto Arto event organizer tersebut tidak lagi diberi kepercayaan untuk menangani event Abang-None Jakarta lagi sampai saat ini. Karena itulah eliau menyampaikan perlunya pemahaman yang sama tentang bahasa “panggung”. Kata “keluar” yang dimaksud apakah keluar dari backstage menuju panggung, ataukah keluar dari posisi onstage menuju offstage??
Toto Arto berbicara kurang lebih selama 1,5 jam dan kemudian dilanjutkan oleh Inet Leimena. Kali ini Inet tidak banyak berbicara tentang “teknis”, ia lebih banyak bicara soal “bagaimana seharusnya stage manager bersikap”. Ada beberapa poin yang saya tangkap dari apa yang Inet sampaikan siang hari itu :
 Pertama adalah menjadi seorang stage manager haruslah fleksibel. Dalam artian, seorang stage manager harus bisa beradaptasi dengan cepat terhadap pola yang digunakan oleh sebuah kelompok pertunjukan. Inet mengambil contoh dalam menangani kelompok teater seperti Teater Gandrik misalnya, tidak mungkin kita membuat sebuah Breakdown Notes yang “kaku” dalam prosesnya karena Teater Gandrik dikenal sangat kaya improvisasi dalam setiap pertunjukannya.
Kedua ketika menjadi seorang stage manager perlu adanya meeting dengan pihak sutradara dan produser untuk memperjelas job description. Sejauh mana peran stage manager yang diharapkan oleh sutradara dan produser dalam sebuah proses produksi pertunjukan. Hal ini diperlukan untuk menghindari overlapping ketika proses sudah berjalan, juga menghindari load kerja yang berlebihan atau bahkan kurang, karena prinsip kerja setiap kelompok pertunjukan yang berbeda-beda.
Ketiga adalah mengenai pentingnya membuat segala macam catatan tentang sebuah proses pertunjukan. Dalam 10 Golden Rules of Stage Management yang ditulis oleh Carissa Dollar dalam “Stage Manager Do Make Coffee” mengatakan : Put Everything In Writing. Tidak dibenarkan seorang stage manager hanya mengandalkan ingatannya saja. Inet mengatakan ketika sedang proses running pertunjukan Musikal Laskar Pelangi, dia sebenarnya yakin bahwa dia telah hafal seluruh cue list pergerakan aktor, set & property. Dia juga yakin bahkan seluruh stage crew-nya juga telah hafal seluruh cue tersebut. Akan tetapi Inet tetap saja menginstruksikan kepada dirinya sendiri dan juga seluruh crew-nya untuk tetap menghadap lembaran-lembaran cue list. Inet juga mengingatkan jangan “sok pintar” dengan membuat catatan-catatan yang “rumit”. Segala macam catatan yang dibuat oleh stage manager haruslah bisa dipahami oleh semua orang yang terlibat dalam pertunjukan tersebut.
Keempat adalah pentingnya mengikuti proses. Baik itu proses latuhan (rehearsal) ataupun meeting dengan klien. Hal ini disampaikan oleh Inet karena saat ini beliau banyak mendapati stage manager yang hanya datang pada hari H pukul 9 pagi dan langsung melakukan running show pada malam harinya. Inet menyampaikan bahwa salah satu kenyataan yang harus diterima oleh seorang stage manager adalah bahwa stage manager adalah sosok yang “kurang diperhatikan” dalam sebuah pertunjukan. Ketika curtain call sangat jarang stage manager ikut disebut dan dipanggil keatas panggung. Sudah beruntung kalau nama stage manager dicantumkan didalam credit title sebuah booklet pertunjukan. Oleh karena itu stage manager sendirilah yang harus menumbuhkan rasa kepemilikan (sense of belonging) terhadap pertunjukan tersebut, dan salah satu caranya adalah dengan mengikutri proses pertunjukan tersebut mulai dari latihan (rehearsal) atau juga meeting dengan klien. Satu hal  yang selalu diyakini oleh Inet dan juga disampaikannya kepada semua stage crew-nya adalah tanpa stage manager sebuah pertunjukan tidak akan berjalan dengan baik. Tanpa stage manager sebuah pertunjukan masih bisa berjalan akan tetapi masih jauh dari kata “baik”.
            Saat kedua pembicara menyampaikan materinya saya hanya mendengarkan dan tidak menyampaikan pertanyaan apapun. Karena sesungguhnya materi yang disampaikan oleh kedua pembicara ini sudah pernah saya terima ketika workshop stage management yang lalu, dan juga dari materi-materi yang banyak saya unduh dari internet. Hal yang paling menarik bagi saya dalam lokakarya ini adalah poin yang sebagian besar disampaikan oleh Inet, “Bagaimana Stage Manager Bersikap”. Seperti yang pernah disampaikan oleh Yudi Ahmad Tajudin dan Ignatius Sugiarto kepada saya bahwa stage management adalah sebuah ilmu praktikal dan pemilihan seorang stage manager biasanya akan dilihat berdasarkan track record. Berdasarkan studi kasus pengalaman kedua pembicara yang disampaikan membuat saya mendapat sedikit gambaran dan bisa berpikir apa yang besok akan saya lakukan ketika terlibat dalam sebuah proses pertunjukan.
                Seluruh rangkaian acara Lokakarya berakhir kurang lebih pada pukul 18.45 dan diakhiri dengan makan malam bersama seluruh peserta, pembicara dan juga penyelenggara acara. Sebenarnya acara akan lebih menarik jika durasi diperpanjang sampai pada pukul 9 misalnya, sehingga kedua pembicara bisa lebih banyak sharing kepada para peserta. Semoga saja setelah ini pihak penyelanggra berbaik hati untuk berinisiatif melakukuan follow up untuk workshop ini kedalam bentuk yang lebih konkret semacam simulasi lapangan misalnya.
                Pukul 19.30 saya bersama teman-teman dari Jogja meninggalkan Gedung Summitmas I, kami menuju ke Salihara untuk bertemu dengan teman-teman lama yang sekarang mencari nafkah di Jakarta, tidak lupa sebelumnya bertukar nomor ponsel dengan teman-teman peserta lain agar bisa terus menjalin hubungan…


Jumat, 20 Juli 2012

Jogja Broadway : APEL I'M IN LOVE

Sebenarnya lakon pertunjukan berjudul ini sudah berkali-kali dipentaskan oleh lembaga sub-unit dari Kolektif Artist Teater Garasi yang bernama Jogja Broadway. Setiap musim liburan di Bulan Juli lakon ini dipentaskan selama 5 hari di Gedung Soicieted Taman Budaya Yogyakarta dengan judul Pangeran Bintang & Putri Embun Hanya saja pertunjukan kali ini dipentaskan di Jakarta dalam rangkaian Festival Indonesia Kita di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki. Judulnya pun diubah sedikit menjadi Apel I'm In Love. Pertunjukannya melibatkan artis-artis nasional juga seperti Olga Lydia, Trio GAM dan Yu Ningsih a.k.a Yu Beruk.

Ini adalah proses pertamaku bersama Teater Garasi. Aku diajak untuk berproses disana oleh Ignatius Sugiarto a.k.a Pak Clink, seorang penata cahaya dan penata artistik berskala internasional. Harapannya dengan berproses bersama Teater Garasi aku bisa belajar banyak dalam hal manajemen panggung dan pada akhirnya menjadi seorang manajer panggung yang madani. Pak Clink memang sedang gundah karena menurutnya sejak kepergian manajer-manajer panggung handal seperti Johan Didik dan Vindra Kirana yang hijrah keluar kota, Jogjakarta tidak mempunyai seorang manajer panggung yang ideal.

Nah, karena ini adalah proses pertamaku maka kali ini aku diberi peran sebagai seorang asisten manajer produksi. Aku menjadi asisten dari Galuh Wulandari (manajer produksi pertunjukan ini) yang menangani kebutuhan artistik panggung.

 Setting Jogja Broadway : Apel I'm In Love

 Briefing All Team sebelum pertunjukan

Berpose bersama seluruh penampil

Setelah lakon Apel I'm In Love ini aku Insya Allah akan berproses lagi bersama Jogja Broadway dengan lakon berjudul Ekspedisi Wisanggeni pada akhir tahun ini. Semoga besok ketika proses berikutnya statusku sudah jadi sarjana :D

*seluruh foto diambil oleh Tomomi Yokosuka

JAZZ GUNUNG 2012


Jazz Gunung kali ini adalah Jazz Gunung keempat dan merupakan Jazz Gunung pertamaku. Pada tahun-tahun sebelumnya ketika Vindra Kirana (seniorku dalam bab manajemen perpanggungan) mengajakku untuk ikut terlibat sebagai kru Jazz Gunung aku selalu berhalangan. Pada tahun sebelumnya aku tidak bisa ikut karena harus melaksanakan KKN, tugas mulia akademisi untuk mengabdi kepada masyarakat. Nah, pada Jazz Gunung kali ini Vindra Kirana sudah hijrah ke Balikpapan untuk suatu hal entah apa. Jadilah kemudian aku harus menggantikan tugasnya menjadi manajer panggung Jazz Gunung kali ini.

    Preset Jazz Gunung 2012

    Suasana ketika pertunjukan Jazz Gunung 2012


     Berpose bersama Mas Heru Piyel & Mbak Hera Ariani didepan rumah penginapan

Jazz Gunung diadakan di open stage sebuah hotel ternama bernama Java Banana Bromo yang tentu saja sesuai namanya terletak di area Gunung Bromo. Hotel itu milik seorang tokoh yang berkecimpung di bidang perbankan bernama Sigit Pramono yang bersama dengan duo Butet Kertaredjasa dan Djaduk Ferianto menjadi penggagas acara ini (silakan googling jika tidak tahu siapa Pak Butet dan Pak Djaduk). Tahun 2012 ini untuk pertama kalinya Jazz Gunung diadakan selama 2 hari pada tanggal 6 dan 7 Juli 2012. Line-up nya asyik-asyik. Hari pertama ada Muci Choir, sebuah band Jazz dengan 6 vokalis dari Yogyakarta, Iga Mawarni yang diiringi oleh Everyday Band, Ring of Fire sebuah proyek kolaborasi Djaduk Ferianto, Slamet Gundono dan Dewa Budjana, Barry Likumahuwa yang main bersama ayahnya Benny Likumahuwa, dan kelompok kesenian tradisional dari Probolinggo yang bernama Gita Taruna. Untuk hari kedua ada Trio Jazz yang dipimpin seorang musisi asal Surabaya bernama Gondo, kemudian Iga Mawarni & Ring of Fire juga tampil kembali, lalu ada kelompok kesenian tradisional Banyuwangi bernama Damarwangi, dan ditutup oleh dua vokalis ternama di Indonesia yang memutuskan untuk berkolaborasi yaitu Glenn Fredly dan Tompi.

Tantangan terbesar Jazz Gunung adalah soal cuaca dingin. Nah, pada saat acara ini kebetulan aku sedang berada dalam kondisi stamina 80% karena barusaja pulih dari cedera retak tulang pinggang akibat jatuh dari atas panggung. Kombinasi tulang retak yang terkena cuaca dingin agak tidak direkomendasikan :))

*semua foto diambil oleh Hera Ariani & Indra Wicaksono dari Pak Jepret Photogtaphy