Minggu lalu aku bekerja dalam sebuah Festival bertajuk
Jogja International Performing Art (JIPA) dan Asia Tri Jogja (ATJ). JIPA &
ATJ adalah sebuah festival yang menampilkan pertunjukan tari, teater dan musik
kontemporer maupun tradisional dari seniman-seniman yang berasal dari berbagai
penjuru dunia. JIPA dan ATJ khususnya diinisiasi oleh tiga negara, yaitu
Indonesia, Jepang dan Korea. Oleh karena itu selain di Indonesia setiap
tahunnya festival ini juga diadakan di Jepang dan Korea. Di Indonesia sendiri tahun
ini sudah masuk tahun ketujuh pelaksanaan festival, padahal menurut Pak Bambang
Paningron selaku Direktur Festival, setiap tahunnya beliau selalu dipusingkan oleh
masalah (klasik) dana yang tersendat setiap tahunnya. Akan tetapi dengan
berpegang teguh pada prinsip “hidup untuk
seni, bukan seni untuk hidup” beliau berhasil konsisten mengadakan festival
ini setiap tahunnya tanpa putus.
Tahun ini adalah tahun ketigaku bergabung di festival
ini. Pertama aku bergabung di festival ini pada tahun 2010 sebagai seorang kru
panggung dibawah manajer panggung Iqbal Tuwasikal, seorang seniorku di Teater
Gadjah Mada. Tahun 2011 aku bergabung sebagai co-stage manager dibawah stage
manager Vindra Kirana dan pada tahun ini aku diposisikan secara aklamasi
sebagai stage manager JIPA, sedangkan
untuk ATJ aku bekerja sebagai kru panggung dibawah stage manager Theodorus Christanto, seorang seniorku di Teater
Garasi. Tahun ini aku bekerja dengan seorang desainer tata cahaya senior dari Jepang
bernama Soga Masaru. Secara fisik, beliau adalah seorang pria tua berambut
putih yang kira-kira usianya sudah melewati 60 tahun dengan gigi depan yang
sudah rontok 7 buah. Bersama Pak Paningron, Soga adalah salah satu pendiri dari
festival ini, jadi jika tidak ada halangan setiap tahunnya dia akan datang ke
Indonesia untuk festival ini.
Sebelumnya aku sudah banyak mendengar cerita tentang
Soga Masaru. Kebetulan Iqbal Tuwasikal seorang seniorku di Teater Gadjah Mada
adalah salah seorang muridnya, dan kemudian aku juga tahu bahwa Ignatius
Sugiarto, yang juga merupakan seniorku di Teater Garasi juga merupakan salah
satu muridnya. Lha berarti otomatis sekarang
ini aku berkesempatan untuk banyak belajar dari gurunya guruku…
Setiap orang yang kutemui dan pernah berproses
bersama Soga Masaru selalu bercerita tentang sesosok pria tua dengan karya tata
cahaya yang luar biasa. Temanku seorang fotografer bilang kepadaku kalau semua fotografer tak peduli seberapa jauh
kemampuannya akan mendapat hasil foto panggung yang bagus kalau memotret
panggung yang tata cahayanya digarap Soga Masaru, beliau juga seorang multitasking yang mampu mengoperasikan mixer control audio dan lighting secara bersamaan. Beliau juga
dikenal sebagai seorang desainer yang nrimo,
apapun spesifikasi lampu yang ada dia tidak akan banyak permintaan, karena
beliau tidak perlu banyak lampu untuk menghasilkan tata cahaya yang
spektakuler.
Pada hari kedua pelaksanaan JIPA di Taman Budaya
Yogyakarta (TBY) aku berkesempatan ngobrol
sebentar berdua dengannya. Saat itu kami sedang menunggu kedatangan Danang
Pamungkas, seorang penari dari Solo yang tampil di acara ini untuk rehearsal. Soga sangat suka kopi hitam
panas tanpa gula, jadi sembari menunggu jadwal rehearsal kami berdua menuju kantin TBY untuk minum kopi sebentar. Di
kantin TBY aku meminta maaf kepadanya soal berbagai macam kesalahan teknis yang
terjadi di gedung pertunjukan. Ya, Gedung Societet tempat pertunjukan ini
memang sungguh parah kondisinya, sangat sulit untuk menemukan lampu dengan
kondisi yang betul-betul baik (Bayangkan saja, dari 10 lampu jenis Fresnel hanya
4 yang kondisinya benar-benar bagus, lainnya hidup segan mati tak mau). Beliau
menanggapinya dengan bercerita sambil meminum kopi hitamnya. Beliau bercerita
bahwa dirinya telah bekerja di berbagai belahan dunia seperti di Amerika, Eropa
dan berbagai negara di Asia dan beliau memuji infrastruktur yang tersedia di
negara-negara maju tersebut. Contoh paling mudahnya, bagaimana di negara-negara
maju tersebut kita hanya perlu menekan tombol untuk menurunkan rig penggantung lampu sementara di TBY
kita harus naik keatas (catwalk) untuk
mengutak-atik lampu. Akan tetapi beliau berpendapat bahwa teknologi-teknologi
semacam itu kadang menghilangkan sebuah elemen psikologis antara auidens dan
penampilnya. Saat ini karena kemajuan teknologi yang sangat pesat hampir semua
alat pengontrol tata lampu memiliki fitur perekam yang memungkinkan kita untuk
merekam desain lampu yang ingin digunakan saat latihan dan tinggal memutar
rekaman tersebut ketika pertunjukan berjalan. Soga adalah salah satu pembenci
fitur tersebut. Menurutnya kasus seni pertunjukan berebda dengan show di televisi. Antara penonton dan
penampil bisa saling melihat tanpa harus dibatasi dengan layar kaca. Dan
tentunya para penonton datang ke sebuah gedung seni pertunjukan adalah untuk
menonton secara langsung pertunjukan tersebut. Maka kita sebagai pihak-pihak
yang merancang pertunjukan tersebut harus menghormati para penonton tersebut
dengan menyajikan sebuah pertunjukan “langsung” tanpa menggunakan rekaman. “Tidak perlulah itu menggunakan recording, lihat pertunjukannya baik-baik,
pahami maknanya, rasakan suasana gedung pertunjukannya dan tangkaplah aura yang
muncul dari penontonnya. It’s about
feeling”, ujarnya panjang lebar. “Ya, aku berkata begitu sebenarnya karena
aku sudah tua sih, tidak paham soal
teknologi”, ujarnya sambil tertawa.
Malam harinya ketika pertunjukan aku paham apa yang dikatakannya. Pada saat
pertunjukan aku berada di FOH (Front Of
House) tempat operator audio dan lighting
berada. Jadi disana aku bisa dengan jelas mengamati cara kerja pria tua
ini. Yang paling membuatku takjub dan menahan nafas sepanjang adalah ketika
beliau menangani pertunjukan dari Takateru Kudo. Kudo adalah seorang penari
butoh papan atas dari Jepang. Tariannya sangat atraktif, bahkan sampai naik ke
kursi penonton dan memutar-mutar footlight
segala (padahal bayangkan sendiri kalau lampu sebesar 500 watt dinyalakan
itu pasti panas kan? Kudo memegangya dengan tangan telanjang). Saat Soga menangani
departemen sound dan lighting untuk Kudo aku paham apa yang dimaksud dengan “It’s about feeling”. Jari-jari Soga
menari diatas console lighting
menciptakan suasana mencekam. Kadang-kadang beliau menaikkan volume pada mixer audio mencapai batas maksimal
hingga membuat seluruh kaca gedung bergetar dan disaat yang tepat dia mematikan
audio secara tiba-tiba yang membuat sisi gedung seperti terhempas ke sandaran
kursi mereka masing-masing. Dahsyat! Aku sampai secara tidak sadar menonton
pertunjukan tersebut, padahal harusnya sebagai seorang stage manager aku tidak
boleh sekadar menonton, tapi memperhatikan setiap detail pertunjukan
kalau-kalau ada hal yang sifatnya emergency,
tapi sungguh baru kali ini aku benar-benar terpesona pada permainan seorang
yang berada dibalik layar. Ini baru yang namanya Master!
ASIA TRI JOGJA
Pekerjaan kami berlanjut ketika pelaksanaan ATJ di
Museum Ullen Sentalu Kalirang. Tempatnya indah sekali, ditengah hutan dan
bebatuan dibangun sebuah panggung 2 level yang menjadi tempat pertunjukan. Sayangnya
pada hari pertama pertunjukan lagi-lagi terjadi kesalahan teknis. Power pack yang menjadi sumber tenaga
lampu tiba-tiba mati. Alhasil dari 24 buah lampu yang dipasang dan didesain
oleh Soga hampir separuhnya mati, jadilah pertunjukan hari pertama berlangsung
dengan kondisi lampu seadanya. Pada hari kedua beliau datang cukup awal, kurang
lebih pada pukul 12 siang. Karena venue pertunjukan
bersifat outdoor maka tidak
memungkinkan baginya untuk melakukan pengecekan lampu. Aku menemuinya dan berbasa-basi aku sekali lagi meminta maaf karena kesalahan
teknis malam sebelumnya yang mengakibatkan hampir 12 dari total 24 buah lampu
tidak bisa digunakan. Dia menjawab, “It’s
okay, I;m still alive and everybody is okay” ujarnya sambil tertawa. Obrolan
kami pun mengalir ngalor-ngidul, aku
bsempat apakah dia tidak merasa kerepotan mengontrol mixer lampu dan audio secara bersamaan. Dia menjawab, “Aku ini
seorang pemain piano, Kamu tahu, didalam piano ada kurang lebih sebanyak 88
kunci, sekarang coba kamu jumlahkan channel dikedua mixer tersebut, tidak sebanyak kunci pada piano kan?”. Betul juga sih, Kebetulan untuk ATJ kali ini kami
menggunakan mixer audio dengan
fasilitas 48 channel dan mixer lampu
dengan fasilitas 24 channel. “Semakin banyak channel yang bisa kugunakan, itu
berarti kebebasanku semakin lebar”, ujarnya sambil tersenyum. “Makanya waktu tadi malam hampir separuh
channel mati aku merasa kebebasanku direnggut, hahahaha”, tambahnya sambil
tertawa. Dia kemudian bercerita lagi tentang pandangannya soal digitalisasi
dunia pertunjukan. Soga berkata kalau pada pertunjukan tadi malam beliau
menggunakan teknologi recording, sudah
pasti remuklah pertunjukan itu. Beruntung yang diandalkannya bukanlah tenologi canggih itu, tapi sekali lagi, yang dipakai
adalah feeling. Aku jadi ingat sempat
bertanya kepada Yudi Ahmad Tajudin, sutradara internasional dari Teater Garasi,
bagaimana perbandingan kondisi seni pertunjukan di Indonesia dengan di luar
negeri. Yudi menjawab, “Kita kalah jauh soal infrastruktur, tapi kalau soal ide
sih kita nggak kalah”. Fariz RM pernah berkata bahwa teknologi boleh saja
maju, tetapi pada hakekatnya tetap saja teknologi adalah “budak” manusia,
jangan sampai kemudian yang terjadi justru sebaliknya, manusia diperbudak oleh
teknologi. Pernah nonton film kartun berjudul Wall E kan? Itu mungkin contoh ekstrim bagaimana teknologi akhirnya
justru memperbudak manusia.
“Kamu masih muda, hidupmu dikelilingi alat-alat
canggih berteknologi tinggi, silakan gunakan semaksimal mungkin, tapi jangan
lupa: feeling. Itulah yang
terpenting”. Begitu nasihatnya kepadaku.
Pertemuanku dengan Soga Masaru memang sangat singkat,
akan tetapi dari waktu sesingkat itu aku belajar tentang arti penting sebuah
proses, konsistensi, dan juga anugerah terbesar yang membedakan homo sapiens dari spesies lain di muka
bumi ini : feeling. Aku terlahir pada
sebuah zaman dimana dunia sudah berada didalam genggaman tangan, yang kadang
membuatku malas menggerakkan otakku karena semuanya dapat kuraih dengan sekali klik. Aku berkali-kali membaca tentang
puluhan jurnal media dan komunikasi yang membahas tentang hal ini, tetapi
pertemuan singkatku kemarin dengan seorang lighting
designer tua membuatku berpikir ulang tentang banyak hal.
Setelah pelaksanaan ATJ, Soga berangkat ke Jakarta
untuk menangani pertunjukan disana yang diharapkan bisa menjadi embrio Asia Tri
di Jakarta, dan setelah itu beliau akan pulang ke Jepang. Aku berharap tahun
depan bisa bertemu dengannya lagi, bisa berposes bersamanya sebagai seorang
pekerja seni pertunjukan yang bekerja dengan feeling…